Orang Jerman menyebutnya Globalisierung (Anthony Giddens, 2001: 2). Istilah globalisasi memiliki arti beragam, antara lain sebagai berikut:
Globalisasi dapat didefinisikan sebagai intensifikasi relasi sosial sedunia yang menghubungkan lokalitas yang saling berjauhan sedemikian rupa sehingga sejumlah peristiwa sosial dibentuk oleh peristiwa yang terjadi pada jarak bermil-mil (Anthony Giddens, 2005:84).
Globalisasi pada prinsipnya mengacu pada perkembangan-perkembangan yang cepat dalam bidang teknologi komunikasi, transformasi, informasi yang bisa membuat bagian-bagian dunia yang jauh menjadi bisa dijangkau dengan mudah (A. Qodri Azizy, 2003:19).
Globalisasi adalah pros^^iritegrasi-^kononaLjnasiorial ke dalam sistem ekonomi dunia berdasarkan keyakinan pada perdagangan bebas yang sesungguhnya telah dicanangkan sejak zaman kolonialisme (Mansour Fakih, 2003:210). ilobalisasi adalah_proses-4anj-utan_.darL perkembangan Jerekonomian dunia, suatu keadaan di mana segenap aspek pSekonbrhian - pasokan dan permintaan bahan mentah, informasi da'n transportasi tenaga kerja, keuangan, distribusi, serta kegiatan-kegiatan pemasaran - menyatu atau terintegrasi dan kian terjalin dalam hubungan saling ketergantungan yang berskala dunia (Carnoy, 1993).
Globalisasi menunjuk pada lingkup masalah yang menyangkut kepentingan dan nasib bersama yang tidak dapat lagi dipecahkan hanya oleh negara-negara masing-masing. Arus globalisasi makin dipacu dan diberi prasarana oleh hadirnya teknologi komunikasi yang makin canggih, lalulintas ekonomi dunia yang tidak terbatas dan mobilitas penduduk antarnegara yang semakin intensif (Marbun, 2005:183).
Pandangan berbeda tentang globalisasi dikemukakan oleh Ulrich Beck, pemikir filsafat sosial Jerman. Menurutnya, dalam globalisasi ada tiga pengertian kunci, yaitu deteritorialisasi, transnasionalisme, dan multilokal/translokal (Sindhunata, 2003).
a. Deteritorialisasi
Deteritorialisasi berarti batas-batas geografis ditiadakan atau dianggap tidak lagi berperan dan tidak lagi menentukan dalam perdagangan antarnegara. Batas teritorial negara-negara yang mengatur seluk-beluk produksi hilang dan digantikan dengan jaringan transaksi global. Hal-hal yang berkaitan dengan produksi tidak lagi diatur dan ditentukan oleh negara atau sistem masyarakat lokal, melainkan oleh organisasi global.
Deteritorialisasi terjadi di segala bidang: ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Dulu masyarakat industri mengandaikan bahwa bisnis harus terikat pada suatu tempat, dan kerja sama hanya bisa dijalankan bila terjadi di suatu tempat pula. Dalam bisnis dewasa ini, batas-batas geografis tak lagi menentukan. Karena kemajuan teknologi (informasi, komunikasi, dan transportasi), bisnis dan perdagangan terjadi dalam ruang yang terasa dekat.
b. Transnasionalisme
Transnasionalisme berbeda dari internasionalisasi. Internasionalisasi berarti berkonsentrasinya jejaring kekuatan ekonomi dalam satu blok, misalnya konsentrasi ekonomi blok Asia, blok Eropa dan blok Amerika. Blok-blok konsentrasi itu mempunyai batas yang jelas. Dalam blok tersebut ada kekuatan yang kuat, ada yang lemah. Sedangkan transnasionalisme meniadakan batas-batas geografis, seperti blok-blok semacam itu. Dulu, misalnya, sistem perdagangan nasional dijalankan atas kerja sama antara pengusaha, organisasi serikat pekerja, dan negara saja. Sekarang ini, karena pengaruh globalisasi, perdagangan dijalankan oleh kekuatan organisasi transnasional yang berskala global
c. Multilokal dan translokal
Global dalam istilah globalisasi juga berarti translokal. Ini berarti, sebagaimana dikatakan oleh Roland globalisasi itu terjadi pula proses lokalisasi (proses menuju hal-hal yang bersifat lokal). Yang global dan yang lokal sama-sama penting. Globalisasi justru memberi kesempatan bagi manusia di berbagai belahan dunia membuka horison hidupnya seluas dunia, tanpa kehilangan kelokalannya. Dalam bahasa Ignas Kleden (2004), kecenderungan-kecenderungan besar ke arah globalisasi ini tidak membunuh yang lokal, tetapi justru merangsang dan memperkuat daya hidup lokalitas. Contoh:
- Di Eropa, bersatunya negara-negara Eropa dalam pasaran bersama Eropa langsung disertai oleh bangkitnya kelompok-kelompok etnis yang memperjuangkan nasionalisme etnis.
- Di Amerika, menguatnya lokalitas ini mendapat bentuknya dalam gerakan dan filsafat komunitarian, yang merupakan lawan dari liberalisasi Amerika.
- Di Asia Tenggara, untuk beberapa tahun para politisi mulai menghiasi pidato mereka dengan retorika Asian values (nilai Asia).
Sementara itu, menurut Mastuhu (Muhtarom, 2005), tanda-tanda globalisasi terdiri dari tiga hal besar, yaitu:
Pertama, globalisasi ditandai oleh menguatnya ruang pribadi (person-space). Karena banyaknya tuntutan-tuntutan dari kehidupan modern yang harus dilaksanakan, ruang kebebasan pribadi untuk mengemukakan pendapat semakin luas. Ada ruang kebebasan untuk mengembangkan ide-ide; selain itu, nilai-nilai lama dijungkirbalikkan dan digantikan oleh nilai-nilai baru yang materialistis.
Kedua, globalisasi adalah sebuah era persaingan/kompetisi. Globalisasi meningkatkan tingkat kompetisi ekonomi-politik antarbangsa. Setiap negara dituntut untuk melakukan percepatan dalam industrialisasi serta penguasaan iptek agar bisa bersaing dalam proses globalisasi yang penuh persaingan itu.
Ketiga, globalisasi berarti naiknya intensitas hubungan antarbudaya, norma sosial, kepentingan, dan ideologi antarbangsa. Konsekuensinya, setiap bangsa dituntut siap secara budaya (kultural) untuk menyatukan diri (berintegrasi) dalam sistem internasional tanpa menyebabkan kaburnya identitas nasional.
Proses Globalisasi
1. Gambaran Ringkas Proses Globalisasi
Kapan era globalisasi dimulai? Berbagai sumber pustaka memberikan jawaban berbeda-beda. Secara historis, globalisasi bukanlah hal baru (Ignas Kleden, 2004). Globalisasi itu sudah berlangsung lama, bahkan jauh sebelum istilah globalisasi sendiri ditemukan.
Globalisasi sudah dimulai ketika Vasco da Gama dan Christopher Colombus melakukan ekspedisi dari dunia Barat (Eropa) ke dunia di luar Barat lebih dari lima ratus tahun yang lalu (Sindhunata, 2003). Ekspedisi itu sendiri awalnya memang dilakukan dengan maksud berdagang. Namun demikian, hal itu menjadi awal munculnya kehendak menguasai wilayah bangsa lain guna menghisap kekayaan bangsa lain tersebut (kolonialisme). Di sanalah sudah mulai tertanam benih-benih dari apa yang kemudian disebut sebagai globalisasi.
Mansour Fakih (2003:211) memperjelas hubungan antara kolonialisme dan globalisasi itu. Menurutnya, globalisasi merupakan kelanjutan dari era kolonialisme dan era pembangunan atau er dzvilvpynzntnYisme. Izra kolonialisme merupakan era perkembangan paham kapitalisme di Eropa.
Paham kapitalisme dikembang-kan oleh Adam Smith, seorang filsuf dan ahli ekonomi dari Skotlandia. Kapitalisme merupakan suatu sistem ekonomi yang mengatur proses produksi dan pendistribusian barang dan jasa. Ciri-ciri pokoknya adalah: (1) sebagian besar sarana produksi dan distribusi dimiliki oleh individu; (2) barang dan jasa diperdagangkan di pasar bebas (free market) yang bersifat kompetitif; dan (3) modal baik berupa uang maupun bentuk kekayaan lainnya diinvestasikan ke dalam berbagai usaha untuk menghasilkan laba.
Selain itu, era ini ditandai oleh ekspansi secara fisik guna memperoleh bahan baku dan bahan mentah. Dalam era kolonialisme inilah terjadi proses eksploitasi manusia atas manusia lain dalam bentuk penjajahan secara langsung selama ratusan tahun.
Perkembangan selanjutnya adalah apa yang disebut era pembangunan. Periode ini lebih menekankan pertumbuhan ekonomi nasional; jadi, lebih berpusat pada negara sendiri. Aktor utamanya adalah negara. Faktor penggeraknya adalah merdekanya negara-negara Dunia Ketiga secara fisik. Dominasi negara-negara bekas penjajah terhadap negara bekas jajahan.memang tetap ada, tetapi dengan cara lain: tidak lagi terjadi secara fisik dan langsung, melainkan melalui cara pandang dan ideologi.
Ketika era pembangunan akhirnya mengalami krisis, dunia memasuki era baru, yakni era globalisasi. Berbeda dengan era pembangunan, pada era ini negara-negara didorong untuk menjadi bagian dari pertumbuhan ekonomi global. Aktor utamanya bukan lagi negara, melainkan perusahaan-perusahaan transnasional (Transnational Corporations, TNCs) dan bank-bank transnasional (Transnational Banks, TNBs), lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia dan Dana Mnoeter Internasional (International Monetary Fund, IMF), serta birokrasi perdagangan regional dan global seperti Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization, WTO), Konferensi Ekonomi Asia-Pasifik (The Asia Pasific Economic Conference, APEC), dan sebagainya.
Aktor-aktor globalisasi tersebut menetapkan aturan-aturan seputar investasi, Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Rights), dan kebijakan internasional. Kewenangan lainnya adalah mendesak, memengaruhi, serta memaksa negara-negara untuk menyesuaikan kebijakan nasionalnya (baik politik maupun ekonomi) dengan tuntutan perekonomian global (dengan kecenderungan pasar bebasnya).
Sesungguhnya, semua proses globalisasi digerakkan oleh ideologi neoliberalisme. Kaum neoliberal yakin bahwa pertumbuhan ekonomi suatu bangsa dapat dicapai melalui persaingan/kompetisi dan pasar betas. Itulah car a diyakini efisieh dan tepat untuk mengalokasikan sumber day a alam langka untuk memenuhi kebutuhan manusia. Secara lebih rinci, pokok-pokok pendirian neoliberalisme adalah, sebagai berikut:
- Bebaskan perusahaan swasta dari campur tangan pemerintah; misalnya, jauhkan pemerintah dari campur tangan di bidang-bidang perburuhan, investasi, harga, serta biarkan mereka mempunyai ruang untuk mengatur diri sendiri;
- Hentikan subsidi negara kepada rakyat, karena hal itu selain bertentangan dengan prinsip menjauhkan campur tangan pemerintah juga bertentangan dengan prinsip pasar bebas serta persaingan bebas. Oleh karena itu, pemerintah juga harus melakukan privatisasi terhadap semua perusahaan milik negara, karena perusahaan negara pada dasarnya dibuat untuk melaksanakan subsidi negara pada rakyat dan menghambat persaingan bebas.
- Penghapusan ideologi "kesejahteraan bersama" dan pemilikan bersama seperti yang masih banyak dianut oleh masyarakat tradisional. Paham kesejahteraan dan pemilikan bersama tersebut dianggap menghalangi pertumbuhan. Akibat lanjut dari prinsip tersebut adalah biarkan pengelolaan sumber daya alam diserahkan pada ahlinya, dan bukan kepada masyarakat tradisional atau adat yang tidak mampu mengelola sumber daya alam secara efisien dan efektif.
2. Tiga Pandangan mengenai Proses Globalisasi
Globalisasi merupakan proses kompleks. Pandangan/respons orang terhadapnya beraneka ragam. Anthony Giddens (2001) mengelompokkan berbagai pandangan tentang proses globalisasi ke dalam 3 (tiga)"kelompok, yaitu: kaum skeptis, kaum hiperglobalis (radikal), dan-hmm iransformatif.
a. Kaum skeptis
Bagi feum skeptis, semua hal mengenai globalisasi hanyalah ruang kosong. Menurut mereka, globalisasi bukan sesuatu yang baru. Tingkat kesalingtergantungan ekonomi yang terjadi sekarang sudah pernah terjadi pada masa lalu. Bedanya, kini intensitas interaksi antarbangsa dan negara tersebut kian meningkat. Namun, bagi mereka, meningkatnya intensitas interaksi tersebut belum membuat perekonomian terintegrasi secara global.
Di samping itu, manfaat dan/atau kesengsaraan yang diakibatkan globalisasi, misalnya, dipandang tidak berbeda dari apa yang pernah terjadi pada periode sebelumnya. Dalam pandangan kaum skeptis, banyak negara hanya memperoleh sedikit manfaat dari perdagangan luar negeri. Berbagai transaksi ekonomi lebih banyak berlangsung di tingkat regional daripada dalam lingkup seluruh dunia. Negara-negara Uni Eropa, misalnya, kebanyakan melakukan perdagangan di antara mereka sendiri. Hal yang sama juga terjadi di berbagai blok perdagangan utama lainnya, seperti Asia Pasifik atau Amerika Utara.
Dengan demikian, yang terjadi bukan globalisasi perekonomian dunia, melainkan regionalisasi perekonomian dunia. Dalam regionalisasi perekonomian dunia itu, pemerintah nasional tetap menjadi aktor utama. Artinya, pemerintah nasionallah yang mengatur, mengelola, dan menjadi penggerak kegiatan ekonomi dan perdagangan.
Ahli yang tergolong kaum skeptis adalah Paul Hirst dan Graham Thompson. Keduanya menyoroti globalisasi dari segi ekonomi. Dalam buku mereka berjudul Globalization in Question, mereka berpendapat bahwa konsep globalisasi adalah mitos belaka, dan bahwa tingkat integrasi ekonomi dalam pasar dunia seringkali terlalu dilebih-lebihkan. Alasan mereka adalah, sebagai berikut:
- Tatanan ekonomi yang sangat mendunia sekarang ini hanyalah bagian dari gelombang turun naik pertumbuhan ekonomi internasional yang mulai ada sejak ekonomi yang berlandaskan pada teknologi industri mulai menyebar ke seluruh dunia sejak tahun 1860-an.
- Perusahaan transnasional yang murni jarang ditemukan karena perusahaan transnasional pada umumnya berbasis negara nasional dan aktivitas perdagangan dunia bertumpu pada kekuatan produksi nasional.
- Lalulintas modal tidak mengakibatkan berpindahnya penanaman modal dan kesempatan kerja secara besar-besaran dari negara maju ke negara berkembang. Penanaman modal asing justru banyak terpusat di negara-negara industri maju seperti Eropa, Jepang, dan Amerika.
- Kekuatan ekonomi negara-negara industri maju ini mampu mengatur pasar modal dan aspek ekonomi lainnya. Oleh karena itu, tidak benar bila pasar modal dunia tidak dapat diatur dan dikendalikan.
b. Kaum hiperglobalis
Berbeda dari kaum skeptis, kaum hiperglobalis (radikal) berpendapat, bahwa proses globalisasi bukan omong kosong belaka, melainkan sangat nyata. Manfaat dan dampaknya bisa dirasakan di mana pun. Pasar global, misalnya, kini jauh lebih berkembang dan
melintasi batas-batas negara, demikian pula tingkat perdagangan dunia. Dewasa ini, tingkat perdagangan dunia jauh lebih tinggi dibandingkan sebelumnya dan mencakup jenis barang dan jasa yang jauh lebih beraneka ragam. Peningkatan yang sama terjadi pula pada aliran uang dan modal.
Menurut Kenichi Ohmae, salah seorang hiperglobalis, globalisasi mengarah ke sebuah "dunia tanpa batas", sebuah dunia di mana kekuatan pasar lebih berkuasa daripada pemerintah. la menyatakan, bahwa globalisasi telah berkembang sedemikian pesat sehingga negara-bangsa kehilangan sebagian besar kekuasaannya untuk mengontrol perekonomiannya sendiri. Pandangan itu bertolak belakang dengan Paul Hirst dan Graham Thompson di atas.
c. Kaum transformatif
Dibandingkan kedua pandangan di atas, kaum transformatif mengambil posisi tengah. Bagi mereka, tatanan global mengalami transformasi (perubahan), tetapi masih banyak pula pola-pola lama yang bertahan. Pemerintah, misalnya, masih tetap memiliki kekuasaan meskipun kesalingtergantungan global semakin terasa. Perubahan ini tidak hanya terjadi dalam bidang ekonomi, tetapi juga pada bidang politik, budaya, dan kehidupan pribadi.
Berbeda dari kaum hiperglobalis yang meyakini bahwa di era globalisasi ini negara telah mengalami erosi kedaulatan, kaum transformatif justru melihat negara mengubah diri. Hal ini dilakukan dalam rangka menjawab berbagai bentuk organisasi ekonomi dan sosial yang baru. Menurut kaum transformatif, kita tidak lagi hidup dalam sebuah dunia yang berpusat pada negara; melainkan, pemerintah sedang dipaksa untuk mengambil sikap yang lebih aktif dan terbuka terhadap model kepemerintahan agar bisa menyesuaikan diri dengan proses globalisasi.
Aspek-aspek Globalisasi
Globalisasi bersifat multidimensi. Karena itu, globalisasi bisa dilihat dari berbagai aspek. Baharuddin Darus misalnya, menyebut lima aspek globalisasi, yaitu:
- Globalisasi informasi dan komunikasi, sebagai akibat dari kemajuan teknologi dan sarana-sarana informasi. Informasi semakin deras melalui berbagai jalur yang membawaserta nilai dan budaya luar." Globalisasi informasi dimungkinkan oleh pemakaian media komunikasi elektronik seperti radio, televisi, terutama internet.
- Globalisasi ekonomi dan perdagangan betas. Globalisasi ini antara lain ditunjukkan oleh globalisasi pasar dan berkembangnya perusahaan-perusahaan transnasional. Hal ini didukung dengan berbagai perjanjian dalam bidang ekonomi seperti Asean Free Trade Area (AFTA) yang dimulai tahun 2003, Asia Pasific Economic Corporation (APEC) yang akan dilakukan mulai tahun 2020, Single Europen Market (SEM), dan North America Free Trade Area (NAFTA).
- Globalisasi gaya hidup, pola konsumsi, budaya, dan kesadaran. Hal ini terjadi melalui proses pengalihan dan transplantasi gaya hidup baru yang dominan, penyeragaman pola konsumsi, dan pertukaran budaya di mana produk-produk budaya suatu negara dipasarkan ke seluruh dunia. Proses ini menimbulkan perubahan cara pandang dan perubahan sosio-budaya, yang bertumpu pada slogan "satu dunia untuk semua" {one world for all).
- Globalisasi media massa cetak dan elektronik. Media membangun opini melalui media canggih dan mutakhir sejenis TV, audiovisual, broadcasting, kaset, compact disk, electronic newspaper, iklan global.
- Globalisasi politik dan wawasan. Kekuatan arus globalisasi ini masuk melalui isu demokratisasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan tuntutan keterbukaan.
Sementara Muhtarom (2005) melihat adanya 7 (tujuh) aspek globalisasi, meliputi hal-hal sebagaimana uraian berikut ini.
1. Globalisasi Informasi dan Komunikasi
Informasi dan komunikasi yang didukung teknologi dapat dilakukan dengan mudah dan efektif. Teknologi informasi dan komunikasi memberikan efektivitas dan efisiensi yang sangat berarti. Proses komunikasi melalui media massa seperti radio, televisi, surat kabar dan film, yang didukung dengan teknologi canggih, misalnya, dapat mengatasi jarak antara penyampai pesan dan penerima pesan. Media-media massa ini dapat digunakan untuk berkomunikasi antarwarga negara dan menciptakan saling pengertian dan kerja sama antarbangsa.
Sebagai contoh, barang yang ditawarkan melalui iklan televisi atau surat kabar relatif mudah dikenal oleh konsumen. Industri pariwisata di suatu negara yang ditawarkan melalui media massa dapat meningkatkan arus wisatawan. Pernyataan seorang elite politik yang disiarkan melalui radio atau ditayangkan melalui televisi dan dimuat di media surat kabar dapat dengan cepat direspons oleh publik dan berimbas pada perubahan perilaku politik masyarakat.
2. Globalisasi Ekonomi
Globalisasi ekonomi merupakan pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam sebuah sistem ekonomi global. Segenap aspek perekonomian (pasokan dan permintaan, bahan mentah, informasi dan transportasi, tenaga kerja, keuangan, distribusi, serta kegiatan-kegiatan pemasaran) terintegrasi dan terjalin dalam suatu hubungan saling tergantung berskala dunia. Ini dilandasi motivasi untu
Pola ekonomi global inilah yang kemudian memunculkan "neoliberalisme". Pasar dikuasai oleh komoditas-komoditas dari negara maju yang akan memarginalkan negara-negara miskin. Akibatnya, muncul kesenjangan ekonomi. Ini berarti globalisasi ekonomi tidak menjamin keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat lemah dan miskin baik dalam skala internasional maupun skala nasional.
3. Globalisasi Hukum
Globalisasi telah mengaburkan batas-batas kenegaraan dan tidak ada lagi negara yang dapat mengklaim bahwa ia menganut suatu sistem hukum nasional secara absolut. Kini, telah terjadi proses saling memengaruhi antarsistem hukum. Indonesia pun tidak lepas dari pengaruh globalisasi hukum. Fakta ini tampak dari adanya aspirasi masyarakat yang menghendaki adanya perubahan dan keadilan. Salah satu contoh adanya kecenderungan perubahan dalam bidang hukum sebagai dampak globalisasi adalah diratifikasinya beberapa konvensi internasional. Hal ini membuka pintu pengawasan pelaksanaan hukum oleh lembaga-lembaga internasional dan masyarakat dunia.
4. Globalisasi Politik
Kehidupan politik menyangkut bermacam-macam kegiatan, baik yang dilakukan individu maupun kelompok kepentingan. Globalisasi politik menyangkut berbagai isu, antara lain isu demokratisasi dan hak asasi manusia. Proses demokratisasi cenderung mengglobal, seperti ditunjukkan oleh semakin banyaknya negara yang mengaku sebagai negara demokrasi. Bersamaan dengan itu, kesadaran warganegara di berbagarbelahan dunia untuk berpartisipasi dalam bidang politik juga cenderung meningkat. Begitu pula hak asasi manusia: pemahaman dan kesadaran untuk menghargai hak asasi manusia serta upaya untuk menegakkannya juga semakin tumbuh di mana-mana.
5. Globalisasi Mmu Pengetahuan
Peradaban masa depan adalah peradaban yang didominasi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dan teknologi akan menjadi sumber kekuatan penting bagi suatu negara dalam mewujudkan kemakmuran. Globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi memunculkan kesadaran mengenai pentingnya pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengolah potensi alam demi kemaslahatan hidup banyak orang. Di era globalisasi ini, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Hal itu ditandai dengan banyaknya penemuan baru, seperti bayi tabung, penetapan jenis kelamin, kloning, perkembangan komputer dengan teknologi tinggi, sampai rekayasa genetika dalam biologi.
6. Globalisasi Budaya
Globalisasi budaya melalui televisi, film, musik dan sebagainya menyebabkan bertemunya budaya-budaya dari berbagai negara. Pertemuan budaya ini dapat menyebabkan terjadinya fusi kebudayaan baru yang produktif. Globalisasi juga dapat membantu terciptanya budaya yang menegakkan kembali asal-usul etnis atau kebangsaan dan membangkitkan tradisi serta landasan-landasan religius. Namun demikian, globalisasi budaya juga bisa menumbuhkan berbagai gaya hidup permisif yang tak peduli pada nilai-nilai moral dan etika.
7. Globalisasi Agama
Proses globalisasi dapat menyentuh agama-agama, terutama yang berhubungan dengan norma, nilai, dan makna agama. Di satu sisi, kemajuan sarana informasi dan telekomunikasi bisa berdampak positif bagi agama-agama, misalnya dalam bentuk penyiaran nilai-nilai agama; namun di sisi lain, sarana tersebut juga bisa menyiarkan nilai-nilai yang jauh dari cita-cita keagamaan. Selain itu, sarana itu pula bisa membuat orang mencari alternatif kepercayaan lain yang lebih diyakininya