Namun, di Amerika Serikat sejak tahun 1947, istilah tersebut telah mengalami perluasan makna. Pers tidak hanya merujuk pada media cetak saja, tetapi juga jurnalisme radio dan televisi. Perluasan makna tersebut dilakukan sebagai respons terhadap kian maraknya aktivitas pemberitaan melalui media siaran radio sejak awal abad ke-20 dan media siaran televisi pada pertengahan abad ke-20 (Atmakusumah, 2000). Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah "pers" memiliki beragam makna, yaitu:
1. Usaha percetakan dan penerbitan;
2. Usaha pengumpulan dan penyiaran berita;
3. Penyiaran berita melalui surat kabar, majalah dan radio;
4. Orang yang bekerja dalam penyiaran berita;
5. Medium penyiaran berita, seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, dan film.
Kini umumnya istilah "pers" menunjuk pada berbagai jenis media massa, tidak hanya surat kabar, majalah, radio, televisi dan film, tetapi juga internet. Kenyataan tersebut memperlihatkan bahwa istilah "pers" terus mengalami perluasan makna sesuai dengan perkembangan zaman, terutama perkembangan teknologi komunikasi.
Mengingat hal tersebut, tidaklah mengherankan kalau Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers memberikan batasan/ definisi yang luas dan berpandangan jauh ke depan mengenai pers: "Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, gambar, suara, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia" (Pasal 1, butir 1). Dari definisi tersebut patut dicatat bahwa istilah pers memiliki dua arti, arti luas dan sempit. Dalam arti luas, pers menunjuk pada lembaga social (sebenarnya lebih tepat "pranata sosial") yang melaksanakan kegiatan jurnalistik.
Dengan demikian, pers disini jenis media massa, termasuk televisi, film, radio, dan internet. merujuk pada kegiatan berpola untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi. Kegiatan berpola tersebut umumnya dijalankan oleh lembaga yang berorientasi profit /mencari untung (perusahaan pers) ataupun lembaga nonprofit (lembaga swadaya masyarakat).
Sementara itu dalam arti sempit, pers merujuk pada wahana/media komunikasi massa. Media komunikasi massa tersebut merupakan produk kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pers ataupun lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pers. Jelasnya, pers merujuk pada berbagai media komunikasi massa (media massa), baik media massa elektronik maupun media massa cetak.
Dalam kehidupan sehari-hari, bilamana orang berbicara tentang pers, umumnya yang dirujuk adalah makna yang kedua atau makna yang sempit. Demikianlah, dalam perbincangan sehari-hari, istilah "pers" umumnya digunakan untuk merujuk wahana/media komunikasi massa.
Sebagaimana diungkapkan di atas, wahana komunikasi massa atau media massa bisa dikelompokkan ke dalam dua jenis:
Media massa elektronik, yaitu media massa yang menyajikan informasi dengan cara mengirimkan informasi melalui peralatan elektronik. Contoh media massa elektronik adalah radio, televisi, internet.
Media massa cetak, yaitu segala bentuk media massa yang menyajikan informasi dengan cara mencetak informasi tersebut di atas kertas. Contoh media massa cetak adalah koran, tabloid, majalah.
Berikut adalah gambaran mengenai beberapa wahana komunikasi massa di Indonesia. Secara berturut-turut akan dibahas gambaran umum tentang radio, televisi, media cetak, dan internet.
a. Radio
Radio merupakan media massa yang memiliki peran penting di Indonesia; sebab, radio mampu menjangkau masyarakat pedesaan di berbagai pelosok negeri ini. Baik pemerintah kolonial maupun pemerintah pasca-kemerdekaan menempatkan radio sebagai media utama dalam melakukan komunikasi massa.
Pada tanggal 11 September 1945 berdiri Radio Republik Indonesia (RRI). Pada masa perjuangan, terutama dalam perang kemerdekaan melawan Belanda, radio memainkan peran vital dalam mempertahankan kemerdekaan. Pada masa pemerintahan Soekarno, radio dipakai untuk mengkonsolidasi kekuatan politik. Pada masa pemerintahan Soeharto, radio (terutama RRI) digunakan sebagai sarana untuk mempromosikan stabilitas nasional dan propaganda politik Orde Baru. Sampai sekarang, radio masih merupakan media massa yang memiliki peranan penting. Radio merupakan sarana informasi yang murah dan efektif untuk menjangkau berbagai lapisan masyarakat, dari lapisan bawah sampai lapisan atas.
Di seluruh Indonesia, sedikitnya ada 1.200 stasiun radio swasta dan 53 stasiun RRI. Stasiun radio swasta umumnya ada di daerah-daerah tingkat dua. Sedangkan RRI umumnya beroperasi di ibu kota propinsi. Sejumlah radio swasta di Indonesia merupakan jaringan. Kini, sedikitnya ada 17 jaringan radio swasta (ISAI & IMS, 2004).
b. Televisi
Selain radio, televisi (TV) juga memainkan peran penting sebagai sarana informasi masyarakat. Hal itu tampak dari jumlah pemirsa televisi yang mencapai 79,3% dari jumlah penduduk Indonesia. Angka tersebut cukup tinggi bila dibandingkan pembaca majalah (29,3%), pembaca surat kabar (31,9%), dan pendengar radio (42,1%) (The Jakarta Post, 13/2/2000). Survei tahun 1998 mencatat feahwa 49 juta rumah tangga memiliki TV, dan 90% pemilik TV tinggal di desa (McDaniel, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa TV kini merupakan media massa yang memasyarakat.
Sebelum muncul TV swasta tahun 1989, TVRI menjadi satu-satunya televisi yang melakukan siaran nasional. Namun, sejak privatisasi industri TV tahun 1989, muncullah era baru pertelevisian di Indonesia. Sejak itu muncul berbagai TV swasta di ibu kota. Selanjutnya, perkembangan televisi di Indonesia selama 10 tahun terakhir sampai tahun 2005 mengalami peningkatan signifikan. Kini setidaknya telah ada sekitar 86 stasiun tersebar di lebih 50 kota besar dan di hampir semua provinsi di Indonesia. Jumlah itu dipastikan akan bertambah, menyusul adanya 218 stasiun TV baru yang telah mengajukan izin beroperasi. Daerah operasi stasiun-stasiun TV tersebut tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di kota-kota besar seperti ibukota provinsi, bahkan sampai tingkat kabupaten dan kota (Suara Pembaruan, 26/12/2005).
c. Media Cetak
Surat kabar merupakan media massa cetak yang paling banya) dibaca warga masyarakat dibandingkan media cetak lainnya seper: majalah. Menurut jurnalis senior RH Siregar (tt), jumlah media cetak di Indonesia sebelum tahun 1999 mencapai sekitar 260. Sejak tahun 1999, seiring mulainya era kebebasan pers, jumlah media cetak melonjak menjadi 1381, dan tahun 2001 bertambah lagi menjadi 1881. Namun menurut survei Kantor Menteri Negara Komunikasi dan Informasi tahun 2003, jumlah penerbitan pers tinggal sekitar 450 penerbit, dengan total tiras sekitar 7 juta eksemplar. Dari jumlah itu, surat kabar 4,3 juta eksemplar, majalah 1,4 juta, dan tabloid 1,1 juta (Pers Kita, No 21, Juni 2005).
Sampai tahun 2003, ada 10 konglomerat media cetak yang mendominasi media cetak di Indonesia, yaitu Jawa Pos Grup, Kelompok Kompas-Gramedia, Media Indonesia Grup, Pos Kota, Bisnis Indonesia, Pikiran Rakyat, Bali Pos, MRA Grup, Bintang Advis Media, dan Media Millenia Grup. Mereka memiliki jaringan media baik dalam skala nasional (media nasional) maupun local (media lokal). Jawa Pos Grup memiliki 107 perusahaan surat kabar, Kelompok Kompas-Gramedia memiliki 55 perusahaan surat kabar dan majalah, sedangkan lainnya memiliki 3 sampai 5 perusahaan penerbitan (ISAIMMS, 2004). Sementara itu, di antara surat kabar yang ada, Kompas memiliki tiras paling tinggi (600.000), lalu disusul Jawa Pos (450.000), Suara Pembaruan (350.000), Republika (325.000), dan Media Indonesia (250.000). Selain surat kabar, majalah merupakan media massa cetak yang memiliki pengaruh penting. Kini ada ratusan
d. Internet
Di Indonesia, internet merupakan media massa yang relatif baru. Media tersebut mulai dikenal masyarakat sejak awal tahun 1990-an. Penyebaran internet di Indonesia efektif dimulai pada tahun 1994 dengan dibukanya Internet Service Provider (ISP) pertama di Indonesia, yaitu PT Indo Internet (IndoNet) di Jakarta. Internet mengalami perkembangan cukup pesat. Pesatnya perkembangan tersebut bisa dilihat dari jumlah ISP yang semula hanya 1 pada tahun 1994, menjadi sekitar 60 ISP pada tahun 2002 (Purbo, 2002). Menurut Asosiasi Penyedia Jaringan Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet pada tahun 2001 sebanyak 4,2 juta orang, dan pada tahun 2002 mencapai 5 juta orang. Di sisi lain, jumlah domain yang semula hanya 2.526 pada tahun 1998, meningkat menjadi 12.413 domain pada tahun 2002. Pesatnya perkembangan internet juga ditandai dengan makin menjamurnya warung internet (warnet) di berbagai penjuru kota.
Melihat pesatnya per-kembangan pemanfaatan internet oleh masyarakat, kini tidak sedikit media massa cetak memiliki edisi online. Edisi online tersebut memungkinkan masyarakat pengguna internet mengetahui berbagai berita ataupun informasi terbaru dengan lebih cepat.
Di sejumlah negara, hadirnya internet mengubah budaya baca masyarakat. Hadirnya internet membuat kaum muda lebih berminat untuk membaca berita melalui komputer daripada membaca surat kabar. Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi media cetak. Data mengenai sirkulasi surat kabar di Amerika, misalnya, menunjukkan terjadinya penurunan. Kalau pada tahun 1964 pembaca surat kabar di, Amerika mencapai 80,8% penduduk, pada tahun 1999 turun menjadi hanya 56,9%. Gejala seperti itu juga terjadi di Eropa, jumlah pembaca surat kabar turun dari 77% menjadi 51% (Atma Kusumah, Kompas, 28/6/2000). Hal itu juga terjadi di Indonesia. Indikatornya, misalnya, tampak dari menurunnya jumlah penerbitan pers dari 1881 pada tahun 2001 menjadi hanya sekitar 450 penerbit pada tahun 2003.
Pers dalam Masyarakat Demokrasi
Pers merupakan lembaga sekaligus wahana penting sebagai sumber informasi. Itulah sebabnya masyarakat membutuhkan pers. Baik itu masyarakat yang memiliki pemerintahan otoriter (masyarakat otoriter) maupun masyarakat yang memiliki pemerintahan demokrasi (masyarakat demokrasi).
Namun, ada perbedaan sangat mendasar antara pers dalam masyarakat otoriter dengan pers dalam masyarakat demokrasi. Dalam masyarakat otoriter, pers sepenuhnya dikuasai oleh dan tunduk kepada pemerintah (Huntington, 2001:12). Pers diarahkan oleh pemerintah untuk mendukung dan mensukseskan berbagai kebijakan pemerintah. Insan pers tak memiliki kebebasan dalam kerja jurnalistik. Maka, pers tak bisa bertindak kritis terhadap pemerintah. Pemerintah selalu berusaha sejauh mungkin mengendalikan kehidupan pers. Caranya, dengan memberlakukan berbagai kebijakan pengawasan. Kebijakan tersebut umumnya berisi pembenaran penggunaan cara-cara preventif (semisal sensor atau teguran) maupun cara-cara represif (semisal pembredelan) guna mengendalikan pemberitaan pers. Akibatnya, masyarakat tak bisa memperoleh informasi alternatif. Informasi yang disediakan dan diperoleh masyarakat dari pers pada dasarnya adalah informasi versi pemerintah.
Berbeda dari itu, dalam masyarakat demokrasi, pers tidak dikuasai oleh pemerintah. Pers secara nyata tidak berada dalam kendali pemerintah (dahl, 2001:119). Insan pers memiliki kebebasan dan keleluasaan guna melakukan kerja jurnalistik, seperti mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi kepada masyarakat. Keberadaan kebebasan dan keleluasaan tersebut tidak tergantung pada kebaikan hati pemerintah, melainkan sepenuhnya dijamin oleh konstitusi dan aturan hukum yang berlaku.
Dengan demikian, secara prinsip pers memiliki jaminan hukum yang kuat untuk bersikap kritis terhadap pemerintah. Pers bertindak sebagai sumber informasi alternatif bagi masyarakat. Karena itu, sering dikatakan bahwa pers merupakan watchdog (semacam anjing penjaga). Artinya pers menjadi "mata dan telinga" yang memberikan isyarat dan tanda-tanda dini apabila ada kejadian yang tidak pada tempatnya, serta sebagai pembentuk opini masyarakat dan agenda publik. Demikianlah, pers menjadi kekuatan keempat yang menyangga pemerintahan demokrasi, bersama-sama dengan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Secara lebih rinci, M Gurevitch dan JG Blunder (1990) dalam buku Democracy and the Mass Media mengungkapkan fungsi dan peran pers dalam masyarakat demokrasi, meliputi:
- Memberikan informasi mengenai perkembangan kehidupan sosio-politik;
- Memberikan gambaran mengenai isu-isu penting yang sedang menjadi perhatian masyarakat;
- Menyediakan wahana untuk melakukan debat publik antara berbagai sudut pandang berbeda-beda yang hidup dalam masyarakat;
- Membantu pemerintah dalam memperhitungkan cara yang sesuai dalam menggunakan kekuasaan;
- Memberikan sumbangan kepada warga masyarakat untuk belajar, memilih, dan terlibat dalam kehidupan bersama, termasuk proses politik.
Fungsi dan Peranan Pers di Indonesia
Sejak lahirnya reformasi, Indonesia telah berkomitmen untuk mewujudkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Komitmen itu sangat jelas tertuang dalam UUD 1945 hasil empat kali amandemen MPR.
Dalam kaitannya dengan kehidupan pers, komitmen kehidupan demokratis tersebut tampak dalam pasal 28 UUD yang menyatakan," Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang". Pasal ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari pasal-pasal lain mengenai hak asasi manusia.
Lebih lanjut, komitmen tersebut dijabarkan dalam UU Pers No 40 tahun 1999. Dalam penjelasan UU tersebut antara lain dinyatakan: "...Agar pers berfungsi secara maksimal sebagaimana diamanatkan oleh pasal 28 Undang Undang Dasar 1945 \naka perlu dibentuk llhdang Undang tentang Pers. Fungsi maksimal itu diperlukan karena kemerdekaan pers adalah salah satu perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis".
Demikianlah, diakui bahwa pers merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Oleh karena itu, UU mengharapkan agar pers dapat berfungsi secara maksimal.
Adapun fungsi pers menurut UU Pers adalah: sebagai media informasi, media pendidikan, media hiburan, media kontrol sosial, dan lembaga ekonomi (pasal 3 ay at 1 dan 2). Dari antara kelima fungsi tersebut, fungsi sebagai media/sarana informasi, pendidikan, dan kontrol sosial amat relevan dengan kehidupan masyarakat demokrasi.
Sementara itu, peranan pers menurut pasal 6 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, meliputi:
Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
- Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hokum, dan hak asasi manusia serta menghormat kebhinekaan;
- Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar;
- Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
- Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dengan demikian, bisa dikatakan, bahwa sebagai medial sarana informasi, pers berperan memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui berbagai informasi (pasal 6 a). Sebagai media/sarana pendidikan, pers berperan menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia serta menghormati kebhinekaan; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, benar dan akurat; serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran (pasal 6 b,c,e). Sebagai medial sarana kontrol sosial, pers berperan melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum (pasal 6 d).
Fungsi pers sebagaimana diatur dalam UU Pers tersebut secara substansial sesuai dengan berbagai teori tentang demokrasi. Hal itu tampak jelas, misalnya, dalam buku Robert A. Dahl "Perihal Demokrasi" {On Democracy). Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa demokrasi membutuhkan adanya sumber-sumber informasi alternatif seperti surat kabar, majalah, buku, telekomunikasi, dan lain sebagainya yang secara nyata tidak berada dalam kendali pemerintah atau kelompok politik. Lebih lanjut menurut Dahl, pers haruslah menjadi penyedia informasi alternatifyang memungkinkan masyarakat memiliki pemahaman cerdas atas berbagai persoalan publik sehari-hari. Sehingga, dengan pemahaman cerdas tersebut, masyarakat makin mampu berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan politik (Dahl, 2001).
Demikianlah, keberadaan pers dalam masyarakat demokrasi hakikatnya berfungsi sebagai media/sarana .untuk semakin mendemokratiskan kehidupan masyarakat. Seperti diungkapkan Barbara Goodwin, pers berfungsi sebagai media/sarana untuk meningkatkan kadar demokrasi serta menjaga sistem demokrasi (Goodwin, 1982).
Fungsi tersebut jelas sangat berbeda dengan fungsi pers dalam masyarakat otoriter/totaliter, membela dan menyukseskan kebijakan pemerintah, tidak peduli apakah kebijakan tersebut adil atau tidak, bermanfaat bagi masyarakat atau tidak.
Atas dasar itu, tidaklah keliru manakala ada yang menyatakan bahwa pers dalam masyarakat demokrasi berfungsi sebagai media untuk mencerdaskan dan memberdayakan masyarakaTTQementaxa., pers dalam masyarakat non-demokrasi berfungsi sebagai alat untuk membodohi dan memperlemah masyarakat.