√ Hikayat Dimnah di Hadapan Raja Singa

Syahdan pada suatu hari yang baik berjalanlah Dimnah pergi menghadap raja singa. Demi sampai ke hadapan raja sujudlah ia menjunjung duli. Akan singa tiadalah ia kenal siapa Dimnah, oleh karena itu bertanyalah ia kepada yang duduk di dekatnya, siapakah yang menyembah kepadanya itu. Setelah diterangkan orang siapa ayahnya, barulah raja singa ingat bahwa ia tahu akan bapa Dimnah. Maka bertitahlah raja “Hai Dimnah, di manakahengkau selama ini?”

“Ampun tuanku, beribu ampun.” Jawab Dimnah, adalah patik yang hina ini senantiasa jua duduk di pintu belairung Tuanku, menanti-nantikan kalau-kalau ada sesuatu perkara yang dapat patik jadikan jalan akan berhidmat ekpada Tuanku, baik dengan diri maupun dengan harta dan pikiran. Bukankah, kata patik kepada diri patik, di penghadapan raja senantiasa timbul berbagai-bagai perkara, dan masakan di antara perkara yang banyak ragamnya itu tidak ada agak sebuah yang perlu tenaga seseorang yang tiada berharga banyak sedikit pun ada mempunyai akal.”

Sangat tercengang raja mendengar kata Dimnah demikian, dan mengertilah baginda bahwa Dimnah adalah seorang yang bijaksana juga. “Orang itu berilmu rupanya,” kata baginda dalam hati, “Hanya belum terkenal namanya. Oleh sebab itu, dicarinya juga jalan hendak mengemukakan dirinya, ibarat api bagaimana pun diusahakan memadaminya, namun nyalanya bertambah tinggi juga.”

Melihat raja bermenung demikian, berdatang sembahlah pula Dimnah, “Ampun, Tuanku, adapun hamba rakyat yang datang ke hadapan raja, terutama ialah karena hendak mengumpulkan ilmu pengetahuan yang banyak terserak di balairung. Kemuliaan hanyalah dua macam, kemuliaan jadi orang peperangan, dan kemuliaan jadi ahli pengetahuan.

Sekalipun seseorang berteman banyak tetapi tiada berilmu, tiada juga gunanya baginya. Bahkan kerapkali hanya mendatangkan bahaya. Tidak ada sesuatu pekerjaan pun juga yang perlu pekerja yang banyak, tetapi tiap-tiap pekerjaan perlu pekerja yang pandai. Orang yang harap kepada penolong yang banyak, kerapkali sama halnya dengan seseorang yang memikul batu besar, ia payah, tetapi suatu pun tiada faedahnya. Kalau yang perlu pohon, tentulah ranting tiada berguna, sekalipun banyak. Ampun Tuanku, Tuankulah yang terutama tiada akan menyai-nyiakan budi yang mulia, sekalipun terlihat pada orang yang hina dena. Bukankah kerapkali terjadi yang hina itu terpadnang mulia akhirnya? Tali busur dari urat binatang mati diperbuat orang tetapi setelah dipasang pada busur, tangan raja pun tiada segan memegangnya.”

Kemudian supaya yang hadir jangan menyangka bahwa ia dihormati raja karena raja tahu akan ayahnya, berkatalah pula Dimnah, “Ampun, Tuanku, raja tiadalah memuliakan seseorang karena bapanya mulia umpamanya, atau menghinakannya karena bapanya hina. Tetapi raja memandang hanya kepada diri orang itu semata-mata, karena nyatalah tiada yang lebih dekat seseorang lain daripada dirinya sendiri jua.”

Makin bertambah heran raja mendengar tutur kata Dimnah dan bertitahlah raja menyuruh Dimnah duduk lebih dekat kepadanya.

Kemudian raja pun bersabda “Manusia tabiatnya dua macam. Ada yang lekas panas seperti ular yang berbiasa. Jika kebetulan terpijak dan tiada ia menggigit, janganlah diulang memijaknya sekali lagi. Ketika itu tak dapat tidak ia pasti menggigit. Kedua, orang yang dingin tabiatnya. Tetapi sebagai ranting yang kering apabila lama dipergosokkan tentu keluar juga api daripadanya. Oleh sebab itu, apabila raja lupa menghormati seseorang sesungguhnya patut dihormati, janganlah ia terus menerus lupa. Lebih lekas ditebasnya kelupaan itu lebih baik baginya.”

Dikutip dari: Baidaba, Hikayat Kalilah dan Dimnah, Jakarta, Balai Pustaka, 2001

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.